Putra pertama kami lahir dengan selamat pada hari Senin di penghujung
bulan Juni tahun 2020. Pukul delapan lewat sepuluh menit, melalui persalinan
spontan, dia lahir ke dunia. Anak yang menjadikanku seorang ibu ini kami beri
nama Adipati Manendra. Adipati yang berarti pemimpin dan Manendra yang
berarti lelaki yang paling cerdas. Kami berdoa agar kelak Manendra bisa menjadi
seorang pemimpin yang cerdas. Kalaupun nantinya dia tidak menjadi pemimpin bagi
banyak orang, kami berharap dia bisa memimpin dirinya sendiri agar dapat
menjadi pribadi yang bahagia dan bermanfaat, aaamiiinn.
Sedari dalam kandungan, Manendra tidak pernah sekalipun merepotkan kami, begitu juga ketika dia menyapa dunia. Puji syukur kehadiran Allah SWT semuanya berjalan dengan begitu lancar dan cepat. Tanda-tanda jelang melahirkan sudah terlihat sejak hari Minggu. Aku baru saja menerima paket yang ternyata adalah hadiah dari sahabat-sahabat SMP ketika keluar flek darah. Berhubung aku sudah membekali diri dengan banyak membaca seputar tanda-tanda persalinan, aku tidak buru-buru menghubungi Caesar yang baru saja sampai kantor. Kulanjutkan aktivitas beberesku seperti biasa. Aku sempat mengirim WhatsApp kepada temanku yang adalah seorang bidan, memastikan kembali bahwa sebaiknya aku pergi ke provider persalinan setelah kontraksinya rutin, bukan ketika keluar flek. Dia mengamini pernyataanku dan menekankan jika hanya keluar flek tapi tidak disertai kontraksi maka tidak apa-apa untuk menunggu hingga kontraksinya terjadi secara rutin. Siangnya sekitar pukul 12 lagi-lagi keluar flek darah. Kali ini disertai kontraksi palsu. Akhirnya aku mengabari Caesar yang langsung menelepon dan menawarkan diri untuk pulang saat itu juga. Berhubung aku belum merasakan kontraksi yang teratur, aku masih yakin bahwa pada saat itu belum saatnya pergi ke provider persalinan. Lagi pula tas yang akan dibawa ke rumah sakit pun sudah siap sejak 3 minggu sebelumnya jadi sama sekali tidak ada rasa terburu-buru.
Kontraksi palsu mulai terasa lebih sering muncul di malam hari. Sejak sore aku sudah mengunduh aplikasi Contraction Timer & Counter untuk menghitung kontraksi dan memantau jarak antar kontraksi serta durasinya. Dari aplikasi tersebut akan keluar notifikasi kapan baiknya pengguna berangkat ke provider persalinan berdasarkan data kontraksi yang dimasukkan. Aku terbangun pukul 1 dini hari akibat kontraksi yang makin intens dengan jarak waktu yang mulai lebih pendek. Aku memutuskan untuk menonton episode 4 It's Okay to Not Be Okay yang baru keluar malam itu sambil mencatat kontraksi yg ku rasakan. Selama sekitar satu jam menonton, kontraksi mulai timbul secara rutin, tiap 15 menit sekali. Setelah tuntas menonton satu episode, kubangunkan Caesar cause it's time! Dia sempat bilang mau solat subuh dulu sebelum akhirnya menanyakan waktu padaku. Masih jam 2 mau solat subuh apa? wkwk.
Pukul setengah 3 dini hari kami berangkat ke rumah sakit. Tidak sampai setengah jam kami sudah tiba di rumah sakit dan langsung menuju IGD. Nakes yang bertugas meminta kami menunggu bidan jaga pada malam itu dan memberikan kami informasi terkait peraturan dan persyaratan untuk melahirkan di RS tersebut di tengah pandemi. Sambil menunggu bidan datang, aku melakukan pengambilan darah untuk rapid tes. Bidan datang dan melakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui pembukaanku. Ternyata sudah pembukaan 3. Hasil rapid keluar, aku dinyatakan negatif lalu segera diantar ke ruang bersalin.
Setibanya di ruang bersalin, bidan jaga mulai mempersiapkan infus dan peralatan lain yang akan dipasang ketika persalinan akan segera berlangsung. Caesar meminta izin untuk pulang dan mengambil beberapa perlengkapan yang tertinggal dan berjanji akan segera kembali secepatnya. Kontraksi pun makin terasa lebih "nikmat" dari waktu ke waktu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, amat lambat, rasanya sudah berjam-jam sejak Caesar pamit pulang. Aku hanya bisa meremas selimut sambil berusaha mengatur napas sebisaku ketika kontraksi datang dan berharap suamiku segera datang. Tidak sampai satu jam Caesar kembali. Aku merasa begitu lega meskipun rasa sakit dari kontraksi terasa bertambah berkali lipat. Tiap kontraksi datang aku hanya bisa meremas tangan Caesar sekencang-kencangnya dan dia hanya bisa pasrah sambil menguatkanku, mengingatkanku untuk mengatur napas sambil mengelus punggungku. Ketika kontraksi sedang mereda baru dia mengibaskan tangannya dan memberitahuku betapa kencangnya aku meremas tangannya wkwk. Akhirnya aku ganti meremas jaket tapi saking kencangnya kadang sampai mencekik lehernya hahaha. Sorry not sorry, Sayang. Pukul lima pagi bidan mengecek keadaanku, memberitahu bahwa dokter sudah diinfokan mengenai kondisiku dan pemeriksaan dalam akan dilakukan lagi pukul tujuh. Aku berusaha tidur sebisaku meskipun tiap kali kontraksi datang pasti aku terbangun lagi.
Pukul tujuh lewat sepuluh menit dilakukan pengecekan dalam. Ternyata sudah pembukaan delapan. Dokter sudah dalam perjalanan, bidan pun segera memasang infus dan mempersiapkan peralatan untuk bersalin. Bidan yang lain mengingatkanku untuk tidak mengejan dahulu sebelum bukaan lengkap. Sekitar setengah jam kemudian, di tengah erangan kesakitanku, aku memberi tahu bidan kalau aku sudah tidak sanggup lagi untuk menahan mengejan. Bidan segera memeriksa, ternyata pembukaan sudah lengkap. Dua bidan menghampiriku untuk membantu persalinan, aku pun dipersilakan untuk mulai mengejan. Dua kali mengejan ternyata teknik mengejanku masih salah. Dengan sigap bidan mengajariku untuk mengejan dengan baik dan benar sambil memecahkan ketubanku. Caesar mengingatkanku untuk tetap membuka mata saat mengejan sambil sesekali menengok kondisi bayi yang katanya sudah kelihatan kepalanya (yang mana aku ketahui belakangan kalo dia cuma ngarang biar aku cepet-cepet pffftttt). Aku bisa mendengar ketika bidan jaga memberitahu rekannya untuk menggunting perineumku karena kondisinya kurang elastis. Jujur aku merasakannya ketika perineumku digunting tapi seingatku aku tidak merasakan sakitnya. Mungkin karena sudah terlalu fokus dengan mengejan. Para bidan dan suamiku terus memberi semangat, "Iya Bu, gitu Bu, pinter nih ibunya nih. Ayo, Bu, itu kepalanya sudah kelihatan lho". Caesar menambahkan "Iyo yang, ayo dikit lagi, itu lho kepalanya bayinya udah keliatan. Kasian bayinya. Ayo." yang aku sempat balas dengan ngomel karena aku perlu mengambil napas. Setelah sekitar empat kali mengejan dengan baik dan benar sesuai arahan ibu bidan, lahirlah putra pertama kami disertai tangisan pertamanya. Rasanya plong, lega banget banget kontraksinya ilang karena anaknya udah mbrojol.
Segera bidan membersihkan anakku dan mempersilakan Caesar adzan di telinganya sebelum meletakkannya di atasku untuk proses IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Dokter kandunganku datang setelah anakku lahir. Sambil bersiap-siap, dokter sempat berseloroh berkata "Wah, buru-buru amat ini hari ini udah keluar. Tadi malem abis nonton yang serem-serem apa, Bu, kok udah lahir aja." Memang aku sudah memiliki janji dengan dokter untuk kontrol keesokan harinya di hari Selasa karena HPL-nya masih seminggu lagi, tapi anaknya udah pengen keluar ya gimana lagi kan ya hahaha. Sambil memeluk dan memperhatikan Manendra, dokter mulai melakukan jahitan pasca melahirkan. Dokter memberitahuku bahwa beliau menyuntikkan anastesi lokal sebelum melakukan penjahitan, tapi meskipun sudah dibius aku tetap bisa merasakannya ketika perineumku dijahit sehingga aku berkali-kali bergerak. Sampai-sampai dokternya bilang padaku untuk fokus ke anak yang ada di dekapanku biar nggak terlalu merasakan jahitannya. Ketika aku bertanya pada bidan yang menjadi asisten dokter mengenai berapa banyak jahitanku, bidan hanya berkata "Udah, Bu, nggak usah ditanya. Banyak pokoknya." Bhaique...
Begitulah sepenggal kisah kelahiran Manendra. Awalnya kami memang sudah jauh-jauh hari berencana untuk melahirkan di Jogja, tetapi karena pandemi rencana tersebut tentu saja gagal terwujud. Meskipun, pada akhirnya aku sangat bersyukur karena aku bisa melahirkan dengan didampingi oleh suami. Kalau aku melahirkan di Jogja, belum tentu Caesar bisa nemenin. Asli, berhari-hari setelah melahirkan, rasa-rasanya aku lebih sayang sama suamiku daripada sama anakku (kalo sekarang udah pasti anak yang nomer satu sih haha). Nyampe pengen nangis ngeliat gimana dia nyiapin semua-muanya dan ngurusin ini-itu. Padahal kalo sekarang dilihat-lihat lagi, ya emang wajar sih semua yang dia lakuin itu, secara aku dalam keadaan yang tidak memungkinkan buat ngapa-ngapain sendiri. Ya kan? wkwk. But still, I'm so grateful for him. To be able to share this magnificent experience with him was a blessing.
Manendra, terima kasih sudah menjadikan kami orang tua. Terima kasih sudah menjadi anak yang sangat pangerten, yang sejak lahir seolah sudah memahami kondisi orang tuanya dan menjadi anak yang sangat menyenangkan. Ibu dan Bapak sayang sekali sama Manendra.