Rencana liburan kali ini adalah backpacking berlima (aku, Difara, Aham, Pakdhe, Enta) selama 7 hari ke Lombok dan pulangnya mampir sebentar ke Bali. Tiket PP kereta Jogja - Banyuwangi seharga Rp 95.000,- sudah dibeli jauh-jauh hari, itinerary sudah disusun serapi mungkin, dan mental jelas udah siap sejak awal merencanakan perjalanan. Lombok, we're coming!
Perjalanan berawal saat Abe menjemput kami satu- persatu buat dianter ke Stasiun Lempuyangan, dan yang terakhir dijemput adalah aku. Begitu masuk mobil, aku langsung disambut dengan pertanyaan dari Pakdhe, "Kamu mau denger berita baik apa berita buruk dulu?". Aku yg barusan aja masuk cuma bisa melongo, dan mendapati bahwa Enta masih di Kulonprogo karena dia pikir keretanya berangkat jam 7 malem.
Sampai di stasiun kami masih berharap ada keajaiban dan si Enta tiba-tiba muncul. Tapi keajaiban itu tidak terjadi. Kami pun berangkat berlima dan si Enta berencana cari tiket promo buat terbang ke Lombok. Tigabelas jam di kereta kami habiskan dengan rutinitas yang sama: nyemil - ngobrol - tidur - main kartu - makan - ngelamun - main games gak jelas. Tetep kerasa sih bosennya belasan jam duduk di kereta gak bisa ngapa-ngapain. Untungnya aku pergi sama mereka, jadi bisa seru-seruan, ketawa-ketawa. Bahkan pas kami lagi seru-serunya main Uno, ada bapak-bapak yang tiba-tiba nyamperin kami terus bilang "Tolong ya, jangan berisik". Begitu kami diem, kami baru sadar kalo emang kami berisik banget hahaha. Kalau kata eyang Ernest Hemingway, "Never go on trips with anyone you do not love". True!
Sesampainya di Stasiun Banyuwangi Baru jam 9 malem, yang dicari pertama kali adalah mushola buat sholat dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke Pelabuhan Ketapang yang jaraknya tidak begitu jauh dari stasiun. Begitu tiket ferry seharga RP 6.500,- sudah ditangan, kami langsung naik ke ferry. Kami masuk ke bagian dalem dan berniat buat tidur selama satu jam perjalanan nyebrang ke Bali, tapi petugasnya muterin lagu-lagu campursari jawa-timuran dengan volume yang cukup keras membuat kami sukses mengurungkan niat tidur. Jadinya ya cuma tidur-tidur ayam. Bahkan akhirnya kami bener-bener melek gegara yang ditayangin bukan lagi campur sari tapi kethoprak, dan itu lucu banget. It's been a long time since I watched that kind of entertainment. Kinda miss it tho.
Sekitar jam 00.30 kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk dan langsung jalan ke Terminal Gilimanuk yang terletak di depannya dan disambut bapak-bapak yang sepertinya semacam calo angkutan gitu. Kami bilang kalo kami mau ke Padang Bai, dan bapaknya bilang kalo bisnya berangkat jam 01.30 dan ongkosnya Rp 60.000,-/org. Awalnya kami bingung karena menurut referensi di internet, ongkos buat ke Padang Bai harusnya Rp 50.000,-/org. Akhirnya setelah nanya kesana-kemari, emang harusnya harganya 50rb. Ngomonglah si Aham ke bapak calo-nya, dan akhirnya dapet harga segitu.
Enam jam perjalanan naik bis dari ujung barat laut nyampe ujung tenggara Pulau Bali sebagian besar dihabiskan dengan tidur. Begitu bangun matahari udah nongol dan kebetulan pas kita lewat di suatu daerah yang aku lupa namanya, lagi ada upacara adat. Kata mas-mas yang ada di bis, itu Upacara Malasti. Orang-orang pakai pakaian adat, mostly warnanya putih dan mereka jalan kaki nyampe ke Pura.
Kami sampai di Pelabuhan Padang Bai jam 7 dan seperti biasa, langsung beli tiket dan meluncur ke ferry. Kapal kali ini ukurannya lebih besar, mungkin karena perjalanannya lebih jauh dengan jarak tempuh sekitar 4 jam, dan harga tiketnya juga beda. Ferry ke Lombok harganya Rp 40.000,-/org. Fasilitas di kapal ini juga lebih banyak, ada beberapa kasur yang disewakan di bagian belakang dan kamar mandi lebih luas. Di kapal ini, kami juga bisa jalan-jalan ke dek atas, melihat pemandangan laut, dan menikmati hembusan angin laut.
Kapal berlabuh sekitar jam 12.30 WITA dan setelah kami menginjakkan kaki keluar dari pelabuhan, banyak sekali supir yang menghampiri dan menawarkan untuk naik mobil merekadengan sedikit maksa. Jadi ternyata di Lombok ini, untuk menemui angkutan memang susah. Jumlahnya tidak seberapa banyak dan kalaupun ada, kita harus nunggu sedikit lebih lama sampai engkel (sebutan angkot di Lombok) terisi penuh. So, mobil carteran adalah opsi yang paling praktis kalau tidak cukup sabar untuk menunggu. But to be honest, we weren't very comfortable with how those drivers insist on to choose their cars. Thank God we met Mas Bob dan teman-temannya. Mas Bob ini mahasiswa dari Lombok yang kuliah di Jogja. Dengan berbagai pertimbangan dan masukan, kami akhirnya untuk naik mobil saja. Awalnya kami cuma berencana naik mobil ini sampai Mataram dan dari sana kami akan naik engkel, tapi Pak Nasir (bapak sopir) mengajukan penawaran untuk mengantar kami sampai Bangsal dengan ongkos Rp 50.000,-/org. Akhirnya kita terima tawaran tsb karena kami harus sampai di Pelabuhan Bangsal secepat mungkin berhubung penyeberangan dari Bangsal ke Gili ditutup jam 18.00. Di perjalanan, baru kami sadari kalau jarak Lembar - Bangsal itu cukup jauh, lebih kurang satu jam perjalanan dengan jalan yang cukup menantang karena kelokannya.
Enam jam perjalanan naik bis dari ujung barat laut nyampe ujung tenggara Pulau Bali sebagian besar dihabiskan dengan tidur. Begitu bangun matahari udah nongol dan kebetulan pas kita lewat di suatu daerah yang aku lupa namanya, lagi ada upacara adat. Kata mas-mas yang ada di bis, itu Upacara Malasti. Orang-orang pakai pakaian adat, mostly warnanya putih dan mereka jalan kaki nyampe ke Pura.
Kami sampai di Pelabuhan Padang Bai jam 7 dan seperti biasa, langsung beli tiket dan meluncur ke ferry. Kapal kali ini ukurannya lebih besar, mungkin karena perjalanannya lebih jauh dengan jarak tempuh sekitar 4 jam, dan harga tiketnya juga beda. Ferry ke Lombok harganya Rp 40.000,-/org. Fasilitas di kapal ini juga lebih banyak, ada beberapa kasur yang disewakan di bagian belakang dan kamar mandi lebih luas. Di kapal ini, kami juga bisa jalan-jalan ke dek atas, melihat pemandangan laut, dan menikmati hembusan angin laut.
Kapal berlabuh sekitar jam 12.30 WITA dan setelah kami menginjakkan kaki keluar dari pelabuhan, banyak sekali supir yang menghampiri dan menawarkan untuk naik mobil mereka
Cuaca mulai kurang bersahabat saat kami tiba di Pelabuhan Bangsal. Matahari mulai tertutup awan kelabu dan angin berhembus makin kencang. Buru-buru kami beli tiket untuk menyeberang ke Gili Trawangan, meskipun ternyata masih harus menunggu kapal yang akan kami tumpangi. Kami memilih menunggu di sebuah gazebo di tepi pantai, dan hujan rintik-rintik pun mulai turun. Awalnya kami masih selow dan menyakinkan diri kami kalau kapal tetap akan menyeberang meskipun mungkin kami harus menunggu lebih lama, sampai ada pengumuman yang memberitahukan bahwa kami harus mengembalikan tiket yang sudah kami beli. Tidak ada penyeberangan lagi dari Bangsal karena cuaca yang tidak memungkinkan.
Sempat sedikit bingung, tapi setelah Aham dan Pakdhe bertanya ke beberapa orang, ternyata ada penyeberangan lain untuk ke Gili Trawangan yaitu melalui Pantai Sire, dan untuk ke sana kami harus naik cidomo atau ojek karena lokasinya yang cukup jauh. Pilihan kami pun jatuh pada cidomo. Kami sama sekali tidak menyangka kalau naik cidomo itu bisa terasa seperti off-road. Memacu adrenalin. Jalan yang harus kami lewati adalah jalan tanah yang tidak seberapa rata dan cidomo yang beroda dua itu keseimbangannya cukup dipertanyakan. Terlebih lagi kuda penarik cidomo kami agak sedikit sulit dikendalikan, jadi kami hanyabisa berpegang erat pada tas dan cidomo sambil berdoa dan memasang wajah panik hahaha.
Adrenalin kami tidak berhenti terpacu sampai di situ saja. Ombak besar di perairan Lombok - Gili juga menimbulkan sensasi lain. Sensasinya terasa seperti menaiki wahana Ombak Banyu di Sekaten, tapi yang ini lebih real dan kalau sampai kapal yang kami tumpangi terbalik, kami pastinya akan segera dilahap ganasnya ombak saat itu. Semua penumpang di kapal menunjukkan raut muka yang sangat tidak enak. Perpaduan antara menahan diri agar tidak muntah dan cemas. Sedangkan aku masih bisa berpikiran jernih dan menyunggingkan senyum tanpa merasa ingin muntah. Sepertinya aku lebih jaya di laut daripada di gunung. Ah, tapi itu semua hanya masalah sugesti. Kuncinya adalah: stay positive, and you'll be just fine. Trust me.
Penderitaan satu jam diombang-ambingkan ombak berakhir begitu kapal menyentuh pantai di Gili Trawangan. Sudah bisa kami tebak, ada banyak orang mendekati kami dan menawarkan penginapan. Kami berkilah kalau kami sudah mem-booking tempat untuk menginap dan menyebut salah satu penginapan yang kami lihat di internet. Kami segera meninggalkan bibir pantai dan mencari Warung Sasak yang menurut rekomendasi internet menyediakan makanan dengan harga 10rb-an. Dengan sedikit bertanya pada mas-mas yang tadi menawarkan penginapan, kami dapat segera menemukan warung tersebut.
Setelah perut terisi, baru kami memutuskan untuk mencari penginapan murah. Kami bertanya pada mas-mas yang sedang bersih-bersih di Warung Sasak, namanya mas Ilham, dan kami diantar ke Duarsa Bungalow. Letaknya agak masuk dan sedikit jauh dari pantai, tapi penginapan tersebut bersih dan nyaman. Anggaran kami untuk menyewa kamar di Gili Trawangan adalah Rp 100.00,-/kamar dan kami rencananya akan menyewa 2 kamar. Pikir kami tak apa lah kami mendapat kamar yang tidak ber-AC dan tidak ada TV, yang penting bersih, nyaman, dan tentunya murah. Setibanya di sana, Pak Wayan, pemilik penginapan, menawarkan kepada kami dua kamar untuk dua orang dengan AC dan TV seharga Rp 200.000,-/kamar. Kami pun curhat ke Pak Wayan kalau pengeluaran kami sudah lebih dari yang seharusnya, dan beliau pun membolehkan kami menyewa satu kamar dengan ekstra bed dengan harga sewa Rp 200.000,-/kamar. Pak Wayan emang baik. Kamarnya bersih, ada AC dan TV, spring bed dan bed cover-nya harum, dan suasana di Duarsa juga tenang. Recommended!
Kami keluar dari penginapan untuk berjalan-jalan setelah selesai bersih-bersih dan beristirahat sebentar di penginapan. Di Gili Trawangan, kamu tidak akan menemukan kendaraan bermotor apapun (well, kecuali kapal bermotor sih), hanya ada sepeda dan cidomo. Kami berjalan ke selatan menyusuri jalanan di Gili Trawangan yang di kanan-kiri-nya dipenuhi cafe, resto, dan butik kecil. Semakin ke selatan, suasananya semakin sepi dan tenang dimana resort-resort mewah sebagian besar berada. Lebih jauh kami berjalan ke selatan, lebih terasa lagi ke-romantisan pulau ini. Suasana yang tenang, berpadu dengan suara deburan obak, dan cahaya lampu yang redup benar-benar sukses membanguan suasana romantis di pulau ini. Gili Trawangan is, indeed, exquisitely romantic at night. You'll definitely feel it when you walk along the path. Lovely!
- Kalau mau liburan ke Lombok, perhatikan cuacanya. Katanya sih yang paling cocok antara Maret - Agustus;
- Jangan kaget kalau sopir di Lombok nyopirnya semacam pembalap Nascar;
- Bawa buku bacaan atau kartu poker atau uno atau games apa aja yang bisa membantu kamu menghabiskan waktu untuk perjalanan panjang;
- Make sure kamu sudah banyak browsing mengenai tempat tujuan kamu, dari mulai objek wisata, penginapan, sampai tempat makan
- Make friends! You don't know how they might surprise you.
Duarsa Bungalow
CP: Pak Wayan +62 878 6499 7285
wayanduarsa71[at]gmail[dot]com