Alhamdulillah, akhirnya bisa nyoret salah satu place(s) to visit in 2014 dari list: Gunung Prau.
Jam menunjukkan waktu pukul 17.00 saat kami melangkahkan kaki keluar dari basecamp. Setelah briefing sebentar dan berdoa, kami mulai pendakian dengan melewati pemukiman dan ladang penduduk. Cuaca sudah mendung sejak kami tiba di basecamp dan kami sadar bahwa hujan pasti akan segera turun. Benar saja, baru setengah jam berjalan, hujan mulai turun dan kami terpaksa memakai mantel. Pendakian ini menjadi lebih menantang karena cuaca yang tidak kondusif dan hari yang semakin gelap. Jalur pendakian yang terjal dan menanjak pun bertambah licin karena hujan tak kunjung reda. Tempo perjalanan kami cukup lambat, mengingat fisikku yang memang tidak sekuat teman-teman yang lain, dan keterbatasan kami dalam melihat jalan.
It was another super awesome and super funnn trip! Semoga masih dikasih kesempatan buat naik gunung lagi sama orang-orang super asik ini *sob
Mungkin banyak yang belum tau tentang keberadaan Gunung Prau. Aku juga baru tau tentang Gunung Prau karena punya temen anak Wonosobo yang gencar banget mempromosikan kampung halamannya. Gunung Prau ini terletak di Dataran Tinggi Dieng, dan karena bentuknya yang memanjang, Gunung Prau secara administratif meliputi wilayah Kab. Banjarnegara, Kab. Wonosobo, Kab. Batang, dan Kab. Kendal. Dengan ketinggian 2.656 mdpl, Gunung Prau memang sedang jadi primadona di kalangan pendaki karena konon dengan ketinggian segitu, pemandangannya udah lengkap. Bisa liat sunrise, sunset, bukit teletubies, padang daisy, dan hamparan awan diantara tujuh gunung lain: Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Lawu, Andong, dan Ungaran. Paket komplit lah yaaa.
Jalur pendakian Gunung Prau yang kami tempuh (taken from google) |
Kami mendaki Gunung Prau Jumat, 11 April 2014. Rencana awal sih cuma berlima sama anak-anak kelas doang: aku, Difara, Aham, Pakdhe, sama Abe. Tapi, setelah ngajakin Mas Yuhda sama Mas Owok, yang ikut jadi 13 orang. Sebagian besar sih personil Camping Ceria di Sindoro kemarin. Nah, karena jumlahnya yang banyak, dan ternyata kesibukannya beda-beda, kelompok kami dibagi jadi dua kloter. Kloter pertama (aku, Difara, Aham, Pakdhe, Abe) berangkat dari Jogja pagi, dan kloter kedua (Mas Yuhda, Mas Owok, Mas Luhung, Mas Yudith, Mas Doni, Mas Gojin, Mas Juan, Mbak Windri, Retno) berangkat sore.
Sebelum berangkat kami sudah browsing mengenai pendakian Gunung Prau. Browsing seputar gunung yang akan didaki itu penting banget karena salah satu modal utama bagi pendaki adalah mengetahui medan. Nah, menurut informasi yang kami dapatkan, estimasi waktu pendakian dari basecamp Patak Banteng sampai ke camp area adalah tiga jam dan jalur yang dilewati cukup terjal, tanpa bonus. Iya, tanpa bonus.
Awalnya kloter pertama berencana berangkat dari Jogja jam 7.00, tapi akhirnya baru meninggalkan basecamp (baca: kos Aham) sekitar jam 10.00, gara-gara nungguin Pakdhe yang bangun kesiangan tapi tetep pengen hiking with style. Jam 11.00 kami mampir ke rumah makan andalan kami di Salaman, Rumah Makan Wisata Sekar Pajang. Setelah selesai makan, sholat, dan santai-santai, kami melanjutkan perjalanan menuju Dieng, Wonosobo dan tiba di basecamp pendakian Gunung Prau, Patak Banteng, sekitar pukul 15.00. Setibanya di sana aku, Difara, Difara sama Pakdhe langsung nyelonjorin kaki sementara Aham sama Abe ngurus administrasi dan ngobrol-ngobrol sama penjaganya. Peraturan pendakiannya sama kayak gunung-gunung lain, yang sedikit berbeda adalah kalo di Gunung Prau, di camp area, pendaki tidak disarankan membakar daging karena masih ada macan di kawasan hutannya. Iya, katanya ada macan tutul-nya gitu di hutan Gunung Prau. Tapi nggak perlu khawatir, mas penjaga basecamp bilang kalo macannya jarang keluar kok.
Pos Pendakian Gunung Prau |
Mendaki dalam gelap dan hanya diterangi cahaya redup dari head-lamp membuat kami tidak menemukan tanda penunjuk pos. Padahal ada dua pos sebelum camp-area. Semakin jauh ke atas, jalan yang kami tempuh semakin berlumpur, licin, dan udara menjadi semakin dingin. Difara bahkan sempat terpeleset dan nyaris terperosok kalau tidak ada Abe di belakangnya. Ternyata spot itu memang super licin. Kami berhenti beberapa saat di situ, memikirkan cara untuk bisa melewatinya. Setelah berhasil melewati tempat itu degan modal nekat karena udah nggak tahan dingin, kami melewati jalan setapak yang sempit, dimana kanannya adalah jurang, dan kirinya adalah tanah yang miring ke atas. Asli, pas lewat jalan itu aku takut banget. Udah gelap, Pakdhe sama Difara udah agak jauh di depan, Aham sama Abe di belakang, jalannya macam itu pula. Ngeri.
Untungnya setelah berhasil melewati jalan super sempit itu, kami tiba di camp area. Dalam keadaan yang kedinginan dan baju basah nyampe ke dalem-dalemnya, kami berusaha mendirikan tenda. Err.... Sebenernya aku cuma bantu megangin senter doang sih, gara-gara saking dinginnya udah gak kuat mau bantuin hahaha. Setelah beberapa saat yang terasa begitu menyiksa, dua tenda berhasil didirikan. Buru-buru deh ganti baju. Itu bener-bener dingin yang paling dingin yang pernah aku rasain. Sekarang aku sepenuhnya paham makna kalimat 'dingin yang menusuk tulang'.
Begitu kelar ganti baju, kami masak mie buat makan malem dan langsung tidur. Sayangnya, di saat yang lain udah pada bisa merem, aku nggak bisa tidur gara-gara agak sesek karena kedinginan. Biarpun kita udah berhimpitan berlima di dalem tenda, masing-masing berbungkus sleeping-bag dan berlapiskan jaket dobel, dinginnya masih tetep kerasa. Tapi nggak beberapa lama kemudain, sekitar jam setengah tiga dini hari, rombogan kloter 2 sampai di camp area. Akhirnya aku malah keluar dan bantuin mereka bikin tenda. Bantu megangin senter maksudnya. Begitu tenda jadi, kami balik ke tenda masing-masing dan mencoba memejamkan mata karena sunrise baru keliatan sekitar jam 5.00. Lumayan, sempat tidur sekitar satu jam.
Berhubung langitnya berawan, sunrise-nyanggak keliatan. Cuma keliatan semburat orange di ufuk timur aja. Tapi itu nggak mengurangi keindahan Gunung Prau di pagi hari kok. Bahkan ternyata pemandangan dari camp area yang sebelumnya gelap gulita itu dikelilingi bukit teletubies yang hijau dan gunung-gunung lain yang menjulang dengan gagahnya. Definitely breathtaking!
Sebelum pagi |
Seven summit, eh? |
Trio kwek-kwek |
Ini bukan endorse kok. Seriusan. |
Kami menghabiskan pagi dengan senyum lebar, menyaksikan indahnya pemandangan dari atas Gunung Prau. Puas memanjakan mata, kami kembali ke camp. Beberapa balik tidur, yang lain duduk-duduk di depan tenda, ngobrol. Obrolan yang sehangat sinar mentari pagi itu dilanjutkan dengan main Uno. Permainan Uno yang ini beda, banyak peraturan diterapkan: kalau kartu 0 keluar kepemilikan kartu kudu diputar, udah gitu nggak boleh nyebut angka. Siapa yang keceplosan kudu ambil kartu sebanyak angka yang disebutin. It was sooo much funnn! Yang pada ngak ikutan main, pada nggangguin dan njebak pemain buat nyebut angka. Nggak ada habisnya kami ketawa-ketawa nyampe sakit perut gara-gara permainan ini. Pokoknya seru banget.
Selesai sarapan kami packing dan bersiap buat turun. Kami memutuskan untuk mengambil jalur lain yang melewati Desa Dieng Kulon, mengingat jalur yang kami tepuh saat berangkat sangat terjal dan licin.
Cigarette is hikers' best-friend, they said |
It turned out that we made the right decision. Yeay! Jalur yang kami pilih ini melewati padang rumput dan bukit teletubies yang luas. Kami juga melihat pohon-pohon yang hangus karena tersambar petir. Meskipun akhirnya kami tetep kudu lewat jalan yang terjal, dan jalan yang diapit jurang di kedua sisinya, tapi jalur ini jauh lebih mending daripada jalur Patak Banteng. Katanya sih kalo naik Gunung Prau lewat jalur ini, waktu yang dibutuhkan sekitar enam jam. Oh iya, sempat liat ada Elang Jawa yang melintas di atas kami juga.
Sepertinya cuaca memang sedang tidak berpihak pada kami. Baru aja ngelewatin padang sabana, dan istirahat di atas bukit, hujan turun. Lagi. Alhasil dipake lagi deh itu mantel yang belum sepenuhnya kering. Jalan pun jadi tambah licin dan berlumpur. Beberapa dari kami terpeleset dan jatuh. Yang bikin gayeng, tiap ada yang jatuh, yang lain pasti bakal nyorakin dan teriak-teriak. Contohnya aja pas aku kepleset terus ndheprok, yang lain langsung teriak-teriak "Nang ning ning nang ning nung..." "Joan gapapa..." "Joan kuat..." "Joan cantik.." dsb. Mungkin sepertinya sepele, tapi entah gimana itu lebih bikin semangat dan menghibur daripada ditanyain "Kamu nggak papa kan?" dengan ekspresi serius. I just really enjoy go hiking with them.
Perjalanan turun yang biasanya membutuhkan separo waktu naik, kali ini memakan waktu tiga jam karena hujan. Setelah kembali melewati hamparan ladang penduduk dan mendapati banyak cacing menggeliat. Kami tiba di Desa Dieng Kulon pukul 14.30 dan segera mencari angkutan umum untuk menuju basecamp Patak Banteng.
It was another super awesome and super funnn trip! Semoga masih dikasih kesempatan buat naik gunung lagi sama orang-orang super asik ini *sob